Struktur Industri Elektronika Masih Lemah
Kalau Liga Dunhill menjadi tonggak baru dalam sejarah sepak bola Indonesia, maka Asian Games tahun 1962 telah mendorong lahirnya tonggak baru dalam dunia elektronika.
Waktu itu pemerintah menginginkan masyarakat Indonesia menyaksikan pesta olah raga kebanggaan masyarakat Asia tersebut. Tak kurang dari alm. M. Thayeb Gobel menyambut keinginan tersebut dengan mulai merakit televisi hitam putih pertama di Indonesia, di samping radio. Kendati hanya dadakan, produksi televisi tersebut telah menandai lahirnya industri elektronik di persada Nusantara.
Sebetulnya, sebelum itu sudah ada pabrik radio Philip di Bandung dan Surabaya. Tapi, kedua pabrik itu merupakan peninggalan Belanda. Kemudian, pabrik radio Philips di Surabaya berubah menjadi pabrik bohlam. Tahun 1956 Pak Gobel juga sudah mendirikan PT Transistor Radio Mfg. Co., yang memproduksi radio merek Tjawang. Kemudian, di Medan tahun 1962 lahir pula radio merek Nusantara yan diproduksi PT Nusantara Polaar.
Sampai tahun 1960-an industri elektronik kita memang masih belum kelihatan atau masih dalam proses menjadi bayi. Yang muncul hanyalah kegiatan reparasi, seperti yang sudah dilakukan Bos Toa Galva, Uripto Wijaya sejak tahun 1950-an. Produksi televisi yang dilakukan, misalnya, hanya sebatas memenuhi kebutuhan Asian Games. Sesuai dengan kondisi waktu itu, perhatian pemerintah memang hanya tertuju ke sana. Setelah Asian Games belum ada kebijakan lanjutan dari Pemerintah.
Saati itu semua kebutuhan barang elektronik harus diimpor. Sehingga, tahun 1950-an sudah terbentuk Persatuan Pedagang Radio Indonesia (PPRI). Selain dari hasil produksi Philips di Bandung dan Surabaya, kebutuhan radio masih diimpor.
Pemerintah menyadari bahwa kondisi itu tidak menguntungkan Indonesia harus mengeluarkan devisa begitu banyak untuk mengimpor produk elektronik. Sebetulnya, kondisi ini tidak hanya berkaitan dengan bidang elektronik, tapi juga dengan bidang lain,. Sehingga, waktu itu pemerintah mengeluarkan kebijakan substitusi impor.
Melalui kebijakan ini pemerintah berusaha mendorong industri dalam negeri untuk memproduksi barang-barang kebutuhan dalam negeri, menggantikan barang-barang yang diimpor. Demikian juga dengan industri elektronik. Mulai awal tahun 1970 industri elektronik dikembangkan dengan pola substitusi impor sampai pertengahan tahun 1985.
Kebijakan pemerintah tersebut disambut baik oleh masyarakat industri elektronik. Puluhan perusahaan bermunculan sejak tahun 1970. Mereka ini boleh dibilang pioner dalam dunia elektronik.
Dengan rangsangan yang diberikan terhadap PMA (Penanaman Modal Asing), munculah beberapa perusahaan patungan dengan merek-merek terkenal dari Jepang, seperti National dan Sanyo. Juga, beberapa perusahaan dengan merek terkenal dari Eropa, seperti Grundig, Philips, dan ITT. Sampai 1973 saja sudah 15 Perusahaan aktif, baik sebagai agen tunggal pemegang merek (ATPM) maupun yangmemproduksi dengan merek lokal.
Perusahaan ATPM, misalnya PT Yasonta yang merakit televisi dengan merek Sharp dari Jepang ; PT Sanyo Industries Indonesia yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek Sanyo dari Jepang; PT National Gobel yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek National dari Jepang; PT Asia Electronics Corp. yang merakit radio dan televisi merek Grundig dari Jerman. Sedangkan yangm emproduksi merek lokal adalah seperti PT Galindra Electric Ltd. Yang juga merakit radio, televisi, tape recorder dengan merek Galindra; PT Telesonic, dan sebagainya. Sampai 1985 jumlah perusahaan elektronik bertambah menjadi sekitar 58 perusahaan dengan berbagai merek produksi.
Sebagian besar merek asing yang diproduksi di Indonesia berasal dari Jepang. Dari sisi jenis produk juga berkembang. Sampai tahun 1973 produk yang dihasilkan terbatas pada radio, televisi, dan tape recorder. Ada sedikit perusahaan yang merakit beberapa produk alat-alat rumah tangga. Setelah tahun 1973, jenis produknya sudah mulai merambah ke alat-alat listrik rumah tangga.
Di samping itu juga muncul sejumlah merek baru. Misalnya, PT Wily Antariksa Electronics yang merakit televisi merek Toshiba; PT Alfa Intone Internasional yang merakit televisi merek ITT dari Jerman; PT Adab Alam Electronics yang merakit amplifier, tape deck speaker system dengan merek Pioner dari Jepang; PT Ben Elektronik Nasional merakit radio merek Belna; PT Hartono Istana Electronics merakit merek Polytron; PT Scortius Jaya yang memproduksi merek video; PT Panggung Elektronik yang memproduksi merek Intel dan sebagainya.
Munculnya perusahaan-perusahaan tersebut telah mengurangi ketergantungan kita terhadap barang impor. Untuk memperkuat posisi perusahaan-perusahaan tadi, pemerintah mengeluarkan kebijakan "larangan impor". Pada awal tahun 1970-an impor televisi dan radio dalam keadaan CBU (Completely Buit Up) dilarang. Dan, di samping itu, ketentuan CKD (Completely Knocked Down) diatur dengan tarif lebih rendah dari part untuk merangsang industri perakitan.
Dari sisi struktur produksi, sebetulnya perusahaan-perusahaan elektronik tadi sebagian besar melakukan perakitan dengan sebagian besar melakukan perakitan dengan sebagian besar komponen diimpor dari luar negeri. Bagi perusahaan ATPM, mereka mengimpor komponennya dari pemilik merek. Produk bermerek lokalpun mendapatkan sebagian besar komponennya dari luar negeri.
Dengan demikian. Industri elektronik kita merupakan industri perakitan yang mempunyai kapabilitas produksi dengan modifikasi sederhana. Hanya beberapa perusahaan yang memiliki kapasitas modifikasi mendasar (major change capability) dan kemampuan rekayasa atau desain. Boleh dikatakan belum ada yang dapat melakukan inovasi atau menjadi trend setter.
Industri Komponen
Sampai saat ini perusahaan komponen sudah cukup berkembang untuk industri alat-alat listrik rumah tangga. Sedangkan untuk industri consumer electronics hanya beberapa komponen yang sudah dapat diproduksi dalam negeri,seperti suku cadang plastik, metal, dan beberapa komponen pasif. Kandungan lokal produk elektronik dan alat-alat listrik rumah tangga kita masih rendah. Diperkirakan hanya 25-30%.
Menurut Data Departemen Perindustrian, di Indonesia terdapat sekitar 60 perusahaan komponen. Namun, produksinya masih terbatas pada komponen elektromekanik dan mechanical part, seperti speaker, transformer, heatshink, jointing cable, screw & nuts, flyback transformer, PCB, chasis, cartoon box, casting, cabinet, frame, ornamen, rubber parts, plastics parts, dan sebagainya.
Walaupun demikian, belakangan ini industri komponen ini sudah mulai muncul, seperti pabrik CRT oleh PT Tabung Gambar Indonesia dan PT Goldstar Display Devices Indonesia. Demikian industri komponen aktif, terutama semiconductor devices dan integrated circuit mulai bangkit. Paling tidak ada tiga perusahaan yang bergerak dalam bidang ini.
Kasus Fairchild dan National Semiconductors
Tahun 1973 dan 1974 dua perusahaan multinasional AS, Fairchild dan National Semiconductors membuka pabrik di Indonesia. Waktu itu memang AS sedang melakukan relokasi perakitan semi conductor ke lokasi yang upah buruhnya rendah supaya bisa bersaing dengan Jepang. Keduanya mengekspor produknya 100%. Hasilnya, ekspor elektronik Indonesia tahun 1978 mencapai 15% dari total ekspor manufaktur Indonesia.
Tapi, tahun 1985 kedua pabrik itu pindah ke Malaysia. Di samping karena permintaan komputer pada pertengahan tahun 1980-an menurun, perpindahan keduanya juga didorong oleh iklim investasi dan usaha dalam negeri yang tidak menunjang. Padahal, tahun 1984 nilai ekspor semiconductor kita sudah mencapai $ 135 juta.
Hengkangnya kedua pabrik tersebut merupakan petaka buat industri komponen elektronik kita. Kendati produksinya tidak untuk dipasarkan dalam negeri, keduanya merupakan perintis industri komponen elektronik kita. Dalam rangka memperkuat struktur industri elektronik nasional, pada tahun 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut Deletion Program.
Program yang berintikan penjadwalan komponen ini bermaksud mengembangkan industri komponen dalam negeri. Karena industri elektronik kita masih sangat tergantung pada industri komponen di negara lain. Dalam kebijakan itu perusahaan elektronik diharapkan mulai berusaha mengembangkan industri komponen untuk kebutuhannya sendiri.
Logikanya, kalau komponennya bisa dipenuhi dalam negeri, secara ekonomis value yang diperoleh industri elektronik semakin tinggi. Pada gilirannya, industri elektronika akan semakin berkembang. Ide pemerintah ini tentu sangat bagus. Beberapa perusahaan langsung terangsang untuk membangun pabrik komponen. Misalnya, PT National Gobel yang membuat speaker. Lalu, ada juga perusahaan yang memproduksi mechanical part, trafo, dan kabel.
Apa yang terjadi kemudian? Bagaimana dengan perkembangan industri elektronik? Sampai saat ini ketergantungan ketergantungan terhadap komponen impor masih sangat tinggi. Sekitar 80% komponen elektronik kita masih harus diimpor. Apalagi kebijakan penjadwalan komponen tadi tersandung Inpres No. 5 tahun 1985 yang berkaitan dengan deregulasi bidang tata niaga impor demi kelancaran arus barang. Akibatnya, larangan impor tadi sudah tidak berlaku lagi.
Menyadari kepincangan dan kerapuhan struktur berkepanjangan ini, pihak Asosiasi Gabungan Elektronika memang sudah mengusulkan perlunya sebuah kawasan industri khusus untuk industri komponen elektronik yang diebut Lingkungan Industri Komponen Elektronika (LIKE). Kawasan ini diiharapkan mendapat status EPTE (Entreeport Produk Tujuan Ekspor) plus. Artinya, produksi komponen dan part dari lingkungan ini boleh dipasarkan secara bebas ke dalam negeri maupun ekspor. LIKE ini pula yang dianggap akan memiliki daya tarik besar bagi perusahaan-perusahaan asing yang ingin mengadakan relokasi ke Indonesia. Hasillnya? Kita masih harus menunggu. (Lihat boks, Industri Komponen Perlu LIKE).
Kehidupan Serba-Elektronik
Salah satu perkembangan teknologi selama ini telah diterapkan pada peralatan rumah tangga. Kini, peralatan rumah tangga dibuat serba-elektro-nik, dengan menambatkan rangkaian bertenaga listrik sehingga memungkinkan perkakas lebih praktis dan mudah digunakan.
Ketua Gabungan Pengusaha Bidang Alat Listrik Rumah Tangga, Sukiatno mengatakan, selain memudahkan kehidupan manusia, penggunaan alat rumah tangga elektronik menghindarkan rumah dari polusi. "Dulu orang memasak harus menggunakan kayu bakar atau kompor minyak. Akibatnya, asap memenuhi ruangan. Sekarang cukup dengan kompor listrik, atau rice cooker, jauh lebih efisien dan sehat," kata dia.Dia menjelaskan, produsen memproduksi peralatan elektronika untuk rumah tangga sesuai permintaan konsumen, yang didapat melalui survei. "Kita sebagai asosiasi, dalam beberapa tahun menyelenggarakan lomba inovasi untuk peralatan rumah tangga ini," jelasnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan sifat manusia yang tak berhenti berinovasi, dia yakin, ke depan peralatan elektronik untuk rumah tangga juga terus berkembang dan bahkan bertambah maju.
Kini, peralatan rumah tangga seperti AC, mesin cuci, televisi, DVD/VCD player bukan lagi barang mewah. Hampir setiap rumah tangga dilengkapi dengan alat-alat tersebut.
Maraknya permintaan masyarakat terhadap peralatan I .rumah tangga elektronik, mengakibatkan bisnis barang elektronik marak di berbagai tempat. Di samping pabrik pembuatan barang elektronik dan toko, kini banyak bermunculan bisnis jasa reparasi barang elektronik hingga bisnis kredit pembelian barang elektronik.
Bisnis di bidang elektronik, kini tergolong sangat cerah, seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, dan tingginya permintaan masyarakat.
Industri Nasional
Sukiatno mengungkapkan, produsen di dalam negeri kini sudah mampu memenuhi kebutuhan domestik. Bahkan, sebagian dipasarkan ke luar negeri.
Sejarah lahimya industri barang elektronik di Indonesia, boleh dikata dimulai pada
1962, bersamaan dengan penyelenggaraan Asian Games, di Jakarta. Kala itu, pemerintah ingin masyarakat Indonesia menyaksikan pesta olahraga bangsa-bangsa se-Asia tersebut.
Almarhum M Thayeb Gobel menyambut keinginan tersebut dengan mulai merakit televisi hitam putih pertama di Indonesia, di samping radio. Produksi televisi tersebut menandai lahirnya industri elektronika nasional.
Sebetulnya, saat itu sudah ada pabrik radio Phillips di Bandung dan Surabaya. Tapi, kedua pabrik itu merupakan peninggalan Belanda.
Televisi yang diproduksi kala itu baru sebatas untuk memenuhi kebutuhan Asian Games. Sesuai dengan kondisi waktu itu, perhatian pemerintah memang hanya tertuju ke sana. Setelah Asian Games belum ada kebijakan lanjutan dari pemerintah. Saat itu semua kebutuhan barang elektronik harus diimpor.
Pemerintah menyadari bahwa kondisi ini tidak menguntungkan. Indonesia harus mengeluarkan devisa begitu banyak untuk mengimpor produk elektronik. Sehingga, waktu itu pemerintah mengeluarkan kebijakan substitusi impor. Melalui kebijakan ini pemerintah berusaha mendorong industri dalam negeri untuk memproduksi barang-barang kebutuhan dalam negeri.menggantikan barang-barang yang diimpor. Demikian juga dengan industri elektronik. Mulai awal tahun 1970 industri elektronik dikembangkan dengan pola substitusi impor sampai pertengahan tahun 1985.
Kebijakan pemerintah tersebut disambut baik oleh masyarakat industri elektronik. Puluhan perusahaan bermunculan sejak tahun 1970. Mere ka ini boleh dibilang pionirdalam dunia elektronik.
Dengan rangsangan yang diberikan terhadap PMA (Penanaman Modal Asing), muncul beberapa perusahaan patungan dengan merek-merek terkenal dari Jepang, seperti National dan Sanyo. Juga, beberapa perusahaan dengan merek terkenal dari Eropa, seperti Grundig, Philips, dan ITT.
Sampai 1973 saja sudah a-da 15 perusahaan aktif, baik sebagai agen tunggal pemegang merek (ATPM) maupun yang memproduksi dengan merek lokal. Perusahaan ATPM, misalnya PT Yasonta yang merakit televisi denganmerek Sharp dari Jepang; PT Sanyo Industries Indonesia yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek Sanyo dari Jepang; PT National Gobel yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek National dari Jepang; dan PT Asia Electronics Corp yang merakit radio dan televisi merek Grundig dari Jerman.
Ada pula yang mempro-duksi merek lokal, seperti PT Ga! indra Electric Ltd yang juga merakit radio, televisi, tape recorder dengan merek Galin-dra; PT Telesonic, dan sebagainya. Sampai 1985 jumlah perusahaan elektronik bertambah menjadi sekitar 58 perusahaan dengan berbagai merek produksi.
Sebagian besar merek asing yang diproduksi di Indonesia berasal dari Jepang. Dari sisi jenis produk juga berkembang. Sampai tahun 1973 produk yang dihasilkan terbatas pada radio, televisi, dan tape recorder. Ada sedikit perusahaan yang merakit beberapa produk alat-alat rumah
tangga. Setelah tahun 1973. jenis produknya sudah mulai merambah ke alat-alat listrik rumah tangga.
Di samping itu, juga muncul sejumlah merek baru. Misalnya, Toshiba, ITT, Pioner, Belna, Kingsonic, Polytron, dan Intel. Munculnya perusahaan-perusahaan tersebut telah mengurangi kebergantungan pada barang impor. Sampai saat ini perusahaan komponen sudah cukup berkembang untuk industri alat-alat listrik rumah tangga.
Deregulasi
Babak baru dalam sejarah industri elektronika nasional dimulai pada 1985. Diawali dengan berbagai deregulasi yang dilancarkan pemerintah. Para investor dari Jepang, Korea, dan Taiwan mulai berdatangan, terutama dalam bentuk relokasi. Produk-produk bermerek Korea dan Taiwan seperti Samsung, Goldstar, dan sebagainya mulai menghiasi lembaran elektronik kita.
Sejak pertengahan tahun 1980-an pemerintah mulai dengan gebrakan deregulasinya untuk menggalakkan ekspor nonmigas, karena penerimaan dari ekspor jnigas tidak bisa diandalkan lagi. Deregulasi sektor elektronik dalam Paket Mei 1990 temyata memacu perkembangan industri elektronik. Dengan deregulasi tersebut, semua barang elektronik dapat diimpor oleh importir umum.
Tarif impor untuk produk akhir juga diturunkan dari 20-60 persen menjadi 20-40 persen. Demikian halnya tarif terhadap komponen diturunkan menjadi 0-5 persen. Berkat berbagai deregulasi untuk mendorong ekspor nonmigas, ekspor barang elektronika pun mulai meningkat. Ekspor dimulai dengan beberapa consumer electronics, seperti radio, tape recorder, dan radio combination yang diproduksi perusahaan patungan. Perusahaan domestik juga mulai mengekspor.
"Tahun 2010 akan ditandai dengan integrasi media, komunikasi dan konten secara digital. Indikasi ini bisa dilihat bahwa media-media konvensional seperti koran dan majalah mengalami penurunan oplah, dan terjadi pertumbuhan luar biasa di media digital seperti Detik.com, Disitu.com, Kompas (KCM), Kaskus, Kapanlagi, dan lain-lain," demikian disampaikan Hadi Santono, ST., MT., selaku Ketua APKOMINDO DIY, dalam Diskusi Akhir Tahun Sistem Informasi dan Teknologi Informasi (SITI) di Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII, 8 Desember 2009.
Pemain besar seperti Yahoo, Google dan Microsoft, Hadi melanjutkan, sudah masuk ke Indonesia dengan serius, khususnya Yahoo. Trend telekomunikasi masuk ke dalam feature phone, transisi dari antara telepon genggam biasa dan smartphone. Blackberry adalah contoh smart phone.
Feature phone banyak tampil dalam bentuk QWERTY phone dengan fitur khusus seperti chat, social network, dll. Feature phone ini akan merepresentasikan pertumbuhan konsumsi konten digital dan aplikasi konektivitas dan interaktvitas melalui messenger dan email. Pertumbuhan adopsi Internet terbesar berada di mobile Internet melebihi PC.
Pertumbuhan netbook juga menjadi sangat luar biasa karena harganya murah dan banyaknya fungsi cloud computing, di mana aplikasi gratis yang tersedia di Internet bertaburan, mulai dari free email account hingga Facebook page.
Perusahaan telekomunikasi dan investor akan masuk ke ranah konvergensi media komunikasi-informasi dan konten ini. TELKOM sudah mencanangkan bahwa mereka masuk ke strategi TIME (telecommunication, media, information dan edutainment).
Bagaimana keadaan perekonomian dan Bisnis Komputer pasca-krisis (ekonomi global) di tahun 2010?
Faktor utama dari krisis adalah kondisi finansial dari industri perbankan yang menghentikan kucuran kredit. Kondisi Indonesia dari sisi finansial cukup baik karena konservatisme dari pelaku industri perbankan sejak krisis finansial 1998 membuat mereka menghindar dari investasi derivatif yang beresiko.
Krisis muncul akibat kondisi geopolitis di mana lembaga finansial luar negeri dan international trade yang berdampak pada kondisi di Indonesia. Hal ini tidaklah berdampak terlalu signifikan karena Indonesia relatif tidak terlampau bergantung kecuali industri B to B. Hal ini sudah kami buktikan dan mulai membangun event B to B di YOGYAKOMTEK 2009. Respon yang di dapat sungguh luar biasa.
Belanja iklan ditentukan oleh konsumsi B to C seperti industri FMCG (fast moving consumer goods), telekomunikasi, perbankan dan rokok. Karena target adalah konsumen yang tetap mengonsumsi kebutuhan sehari-hari, selama tidak terjadi krisis global lagi, maka industri hardware komputer tentu akan mengalami kondisi pertumbuhan positif.
Bagaimana dengan ‘kompetisi’ di tahun 2010?
Tahun 2010 adalah kancah ganas agar pelaku industri hardware mutlak memberikan value added baru, yakni 'digital services' di mana diharapkan memberikan solusi terintegrasi untuk kombinasi media konvensional dan digital. 'Digital is a must to survive'.
Mereka yang tidak memberikan layanan ini akan ditinggalkan oleh klien atau dikomoditisasikan sehingga akan makin ditekan oleh klien. Pemain media online akan bertaburan dan menangguk hasilnya, seperti Detik, Kompas, Kaskus dan Kapanlagi. Perusahaan telekomunikasi yang menghadapi perang harga akan mulai bermain masuk ke mobile advertising. Bermunculan eksperimen dengan berbagai model mobile ad yang dalam waktu 3 tahun akhirnya mulai mengerucut. Konten digital akan bertaburan di tahun 2010, khususnya game dan musik yang makin mudah dan murah karena biaya distribusi digital hampir nol.
Bagaimana strategi yang digunakan di tahun 2010 dalam menghadapi kompetisi yang semakin ketat?
Dengan dicanangkannya 2009 sebagai tahun ekonomi kreatif, apakah ini akan semakin memacu perkembangan industri hardware di tahun 2010? Perubahan ekosistem terjadi ketika perusahaan mampu menciptakan hak kekayaan intelektual seperti masuk ke pemilik hak cipta di dalam industri konten seperti musik, games dan film.
Inovasi-inovasi seperti apa yang akan muncul di tahun 2010?
Mobile advertising akan mengalami banyak eksperimen dan model. Inovasi ini ada yang akan bertahan dan banyak pula yang tidak. Location based service akan mulai diperkenalkan, seperti kita akan mendapatkan penawaran khusus jika berada di lokasi tertentu.
Konten digital akan dibundle dengan biaya berlangganan pita koneksi, yang disebut sebagai Freemium. Seperti gratis tapi bayar. Modelnya serupa berlangganan cable TV. Konten yang ditawarkan adalah musik, games dan banyak lagi. Pengiklan akan masuk ke menawarkan konten premium secara gratis bila kita membeli produk, misalnya membeli barang sebagai tiket untuk nonton, atau mendapatkan musik dan games. Pembayaran micropayment via online akan menjadi mudah dan terpercaya. Semua pemain besar akan masuk ke sini dan mulai bersaing. Perlu waktu 2-3 tahun sehingga terjadi standar industri dan baru pemain besar akan mulai bekerja sama dan terjadi kompatibilitas.
Pesan khusus untuk pelaku bisnis Hardware di Indonesia menghadapi tahun 2010. Siap dengan integrated media, yang mengkombinasikan media digital dan konvensional. Bangun komunitas! Model sukses untuk beriklan digital masih sangat terbuka. Saatnya perusahaan advertising dan brand manager untuk melakukan eksperimen dan belajar bersama. Jadikan kedua belah pihak sebagai partner. Lakukan kesalahan bersama dan belajar dari kesalahan tersebut.
Bagaimana perkembangan industri hardware komputer di Indonesia?
Masuklah ke INDUSTRI INTERNET! Trend ini sudah terlihat sejak 2008 dan 2009. Semua investasi besar sudah dilakukan di tahun 2008 dan 2009. Mereka yang masuk setelah ini akan berat karena berhadapan dengan pemain raksasa, kecuali mereka yang punya inovasi demikian hebat. Jika tidak, maka akan sangat sulit kecuali beraliansi dengan pemain besar.
Jendela waktu 2010 adalah masuk ke konten dan digital advertising (Internet dan mobile). Masih ada waktu buat pemain kecil. Setelah itu semua pemain raksasa akan kembali menyerbu. Pemain besar hanya akan menunggu jika pasar siap, dan pada saat mereka masuk yang dilakukan selalu aliansi strategis dan akusisi.
Bagaimana prospek beriklan dan branding merk untuk Industri Hardware Komputer di Indonesia?
Iklan digital akan bertumbuh pesat karena terukur, jauh di atas media konvensional. Jika sekarang advertising dianggap sebagai cost atau biaya yang sulit diukur, maka dengan digital, akurasi pengukuran akan menjadi sangat terlihat.
Brand awareness diukur dari berapa 'eyeball'. Dalam digital akan diukur dengan istilah CPM (cost per thousand impression), di mana ada berapa banyak yang melihat iklan kita. Ini dilanjutkan dengan CPC (cost per thousand click), yang mengukur seberapa orang yang bereaksi dengan mengklik iklan kita. Setelah itu dengan teknologi mobile, akan muncul CPA (cost per thousand acquisition), di mana mereka yang melihat iklan akan diajak langsung melakukan order.
Masih sangat panjang perjalanan media digital untuk tumbuh dan menjadi matang. Langkah awal menggunakan media digital adalah menciptakan engagement dengan komunitas dan pelanggan, yang akhirnya mengonversi hubungan ini menjadi insight, atau memahami keinginan pelanggan tanpa perlu melakukan biaya riset yang sangat mahal.
DAFTAR PUSTAKA
dri wikipedia
0 komentar:
Posting Komentar