HUKUM DAN SUMBER-SUMBERNYA
Tujuan Hukum: Tujuan hukum yang bersifat universal adalah ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Teori yang membahas masalah hukum.
1. Teori etis, mengajarkan bahwa hukum semata-mata menghendaki keadilan. Teori ini dinamakan teori etis karena isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai ap ayang adil dan apa yang tidak adil.
2. Teori utilitas, berpendapat bahwa hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui bagi perseorangan merupakan tujuan hukum dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum, namun tidak memperhatikan unsur keadilan.
Tujuan hukum
1. Menurut Prof. Van Apeldoorn ialah mengatur pergaulan manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.
2. Menurut Prof. R. Soebekti, SH tujaun hukum ialah mengabdi kepada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Pelayanan tujuan negara tersebut dilaksanakan dengan menyelenggarakan “keadilan” dan “ketertiban” merupakan syarat yang pokok untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan.
Aristoteles menyatakan bahwa tujuan hukum adalah menghendaki keadilan.
a. Macam-macam keadilan menurut Aristoteles ialah sebagai beriktu:
1. Keadilan distributif atau Justitia distributiva.
2. Keadilan kumulatif atau Justitia cummulativa
Perbedaan antara kedua keadilan tersebut ialah sebagai berikut:
1. Keadilan distibutif merupakan sesuatu keadilan yang diberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut hak masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan masyarakat antara masyarakat dengan perseorangan. Disini pengertian keadilan bukan persamaan, melainkan perbandingan.
2. Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-maisng anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan kumulatif berperan pada tukar-menukar. Antar barang yang dikehendaki sama banyaknya atau nilainya. keadilan kumulatif lebih menguasai hubungan antar perorangan.
A. Sunber-Sumber Yang Bersifat Hukum Dan Sosial
Sumber-sumber yang melahirkan hukum bisa digolongkan dalam dua kategori besar, yaitu sumber-sumber yang bersifat hukum dan yang bersifat social. Yang pertama merupakan sumber yang diakui oleh hukum sendiri sehingga secara langsung bias melahirkan atau menciptakan hukum. Adapun yang kedua merupakan sumber yang tidak mendapatkan pengakuan secara formal oleh hukum, sehingga tidak secara langsung bisa diterima sebagai hukum. Apabila kita melihatnya secara demikian, maka yang kita jadikan tolok ukur adalah keabsahan secara hukum dari substansi yang dikeluarkan oleh masing-masing sumber tersebut. Substansi yang dihasilkan oleh sumber-sumber adalah ipso jure, yang dengan sendirinya sah, sedang yang lain tidak dan dengan demikian hanya bias disebut sebagai sumber-sumber kesejarahan saja. Sebagai demikian, maka sumber social ini dapat disebut sebagai sumber bahan dan kekuatannya tidak otoritatif melainkan hanya persuasive.
Situasi yang dihadapi oleh sumber-sumber hukum sebagai mana dikemukakan di atas tidak terlepas dari perkembangan masyarakat sendiri. Di muka telah dibicarakan model dikhotomi, yaitu yang membagi masyarakat ke dalam rezim tatanan primer dan sekunder. Pembedahan ini mengarah kepada pernyataan tentang adanya masyarakat dengan ciri-ciri hukum, atau masyarakat pra-hukum dan masyarakat yang sudah mengenal hukum. Pembedaan dalam sumber-sumber yang bersifat social dan hukum itu tentulah berada pada tingkat perkembangan masyarakat yang sudah memakai rezim tatanan sekunder. Di sini memang sudah dikenal pembedaan tajam antara yang social dan yang hukum dengan segala perkaitannya. Dengan demikian pula, pembedaan dalam sumber-sumber yang bersifat hukum dan social tentunya tidak berlaku pada masyarakat pra-hukum tersebut.
B. Perundang-Undangan
1. Hakekat perundang-undangan
Pembuatan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang untuk itu merupakan sumber yang bersifat hukum yang paling utama. Kegiatan dari badan tersebut disebut sebagai kegiatn perundang-undangan yang menghasilkan substansi yang tidak diragukan lagi kesahannya, yang ipso jure. Tindakan yang dapat digolongkan ke dalam kategori perundang-undangan ini cukup bermacam-macam, baik yang berupa penambahan terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada, maupun yang merubahnya. Hukum yang di hasilkan oleh proses seperti itu disebut sebagai hukum yang diundangkan (enacted law, statute law) berhadapan dengan hukum yang tidak diundangkan (unenacted law, common law). Orang Romawi menyebutnya jus scriptum dan jus non scriptum.
Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memilki ciri-ciri sebagi berikut :
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang kan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
Dibandingkan dengan aturan kebiasaan, maka perundang-undangan memperlihatkan karakteristik suatu norma bagi kehidupan social yang labih matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastian. Hal ini tidak terlepas dari kaitannya dengan pertumbuhan negara itu sendiri. Aturan kebiasaan bisa dikatakan mengurusi hubungan antara orang dengan negara. Bentuk perundang-undangan itu tidak akan muncul sebelum pengertian Negara sebagai pengemban kekuasaan yang bersifat sentral dan tertinggi. Beberapa kelebihan dari perundang-undangan dibandingkan dengan norma-norma lain adalah :
1. Tingkat prediktibilitasnya yang besar. Hal ini berhubungan dengan sifat prospektif dari perundang-undangan, yaitu yang pengaturannya ditujukan kemasa depan. Oleh karena itu pula ia harus dapat memenuhi syarat agar orang-orang mengetahui apa atau tingkah laku yang diharapkan dari mereka pada waktu yang kan dating dan bukan yang sudah lewat. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan senantiasa dituntut untuk memeberitahu secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh masyarakat. Azas-azas hukum, seperti “Azas Tidak Berlaku Surut” memberikan jaminan, bahwa kelebihan yang demikian itu dapat dilaksanakan secara seksama.
2. Kecuali kepastian yang lebih mengarah kepada bentuk formal di atas, perundang-undangan juga memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan, sekali peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan tersebut. Oleh karena itu orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu bias diterima atau tidak.
Di samping kelebihan-kelebihan tersebut di atas, beberapa kelemahan yang terkandung dalam perundang-undangan adalah :
1. Kekakuannya, kelemahan ini sebetulnya sudah segera tampil sehubungan dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian. Apabila kepastian ini hendak dipenuhi, maka ia harus membayarnya dengan membuat rumusan-rumusan yang jelas, terperinci dan tegar dengan risiko untuk menjadi norma-norma yang kaku.
2. Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat umum mengandung risiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan demikian memperkosa perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disama-ratakan begitu saja. Terutama sekali dalam suasana kehidupan modern yang cukup kompleks dan specialistis ini, kita tidak mudah membuat perampatan-perampatan.
2. Hakekat soaial dari perundang-undangan
Sebagai sumber hukum, perundang-undangan mempunyai kelebihan dari norma-norma social yang lain, karena ia dikaitkan pada kekuasaan yang tertinggi di suatu negara dan karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar sekali. Dengan demikian, adalah mudah bagi perundang-undangan untuk menentukan ukuran-ukurannya “sendiri” tanpa perlu menghiraukan tuntutan-tuntutan dari bawah.
Namun demikian, cirri demokratis masyarakat-masyarakat dunia sekaran ini memberikan capnya sendiri terhadap cara-cara perundang-undangan itu diciptakan, yaitu yag menghendaki masuknya unsur-unsur social ke dalam perundang-undangan. Menghadapi perkembangan yang demikian itu tampaknya menjadi semakin kaburlah pemisahan secara ketat antara konsep sumber-sumber hukum yang atas bawah dan bawah atas tersebut di muka. Apabila batas-batas itu mulai merasuki satu sama lain, maka menjadi penting pulalah untuk mendekati masalah perundang-undangan ini secara social.
Pertanyaan bukan hukum yang bisa diajukan di sini adalah : apakah perundang-undangan itu memihak kepada nilai-nilai tertentu ataukah bebas nilai ? Seperti disebutkan di muka, kelebihan dari perundang-undangan di antaranya adalah karena ia bisa memberikan kepastian mengenai mengenai nilai tertentu yang dilindungi oleh hukum. Tetapi justru dengan menentukan nilai tertentu yang dilindungi oleh hukum. Tetapi justru dengan menentukan nilai tertentu secara demikian itu perundang-undangan terlibat ke dalam proses pembuatan pilihan-pilihan. Dengan demikian, maka secara sosiologis dapat dikatakan, bahwa penentuan nilai tersebut mengharuskan terjadinya pengutamaan terhadap suatu golongan tertentu di atas yang lain.
Keadaan dan susunan masyarakat modern yang mengenal lapisan makin tajam menambah sulitnya usaha untuk mengatasi kecenderungan hukum atau perundang-undangan untuk memihak tersebut. Dalam suasana kehidupan social yang demikian itu, mereka yang bertindak efektif adalah orang yang dapat menontrol intuisi-intuisi ekonomi dan politik dalam masyarakat. Oleh karena itu sulit untuk ditolak, bahwa perundang-undangan itu lebih menguntungkan pihak yang makmur, yaitu mereka yang lebih aktif melakukan kegiatan politik. Kedaan yang demikian ini barang tentu berbeda dari satu negeri ke negeri yang lain. Masyarakat yang menjunjung liberalisme dan ekonominya kapitalis akan lebih menampilkan karakteristik social yang demikian itu daripada masyarakat yang menekankan pada unsur kebersamaan dalam kehidupan social dan politiknya. Di dalam masyarakat yang disebut pertama, perundang-undangan dilakukan untuk mendorong kepentingan golongan yang satu di atas yang lain. Dalam pertarungan demikian itu, tak dapat dihindari terjadinya kemajuan dalam pengutamaan kepentingan orang-orang tertentu, sedang golongan yang lain menjadi makin sengsara.
3. Bahasa perundang-undanagn
Hukum di abad ke-duapuluh pada dasarnya adalah hukum yang dituliskan. Oleh karena itu, apabila dikatakan bahawa bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan hukum,maka disitu masih harus ditambahkan : bahasa yang dituliskan atau bahasa tertulis. Hukum dalam wujud bahasa tertulis ini tidak lain adalah perundang-undangan.
Bahasa dan ragam bahasa yang dipakai dalam perundang-undangan sekarang adalah unik untuk zamannya, karena dalam sejarah tidak selalu dijumpai penggunaan ragam bahasa yang sama dengan yang dipakai sekarang ini. Ragam bahasa perundang-undangan sekarang mempunyai cirinya sendiri yang khas, yaitu berusaha untuk memakai melalui penggunaan bahasa secara rasional. Oleh karena itulah kita bisa melihat perincian dari ciri utama tersebut ke dalam ciri-ciri berikut ini, yaitu :
a. Bebas dari emosi.
b. Tanpa perasaan dan
c. Datar seperti rumusan matematik.
Dalam hubungan dengan masalah penggunaan bahasa ini, berikut ini dibicarakan dua fungsinya, yaitu :
a. Sebagai Alat Komunikasi
Sebagai sarana komunikasi, maka bahasa perundang-undangan harus dapat mengantarkan pikiran dan kehendak dari pembuat undang-undang kepada rakyat. Pada waktu dibicarakan mengenai azas-azas bagi suatu sistem hukum yang baik, kita telah mengutip pendapat Fuller yang diantaranya mensyaratkan, agar hukum itu dirumuskan dalam bahasa yang bisa dimengerti rakyat. Tetapi perkembangan dari hukum yang menjadi semakin formal dan rasional sekarang ini tampaknya tidak mudah untuk memenuhi persyaratan tersebut. Mengenai hal ini seorang pernah menulis sebagai berikut:
“Sesudah membaca beberapa undang-undang, saya mempunyai perasaan, bahwa saya telah terkena racun kejiwaan. Saya berpendapat, bahwa pada beberapa rumusan perundang-undangan orang bertindak sangat sempit, terutama pada waktu membuat perincian peraturannya, sehingga hanya mereka yang mempunyai spesialisasi di bidang itu saja mengetahuinya. Terjadinya keterasingan antara undang-undang dan masyarakat yang merupakan akibat daripadanya, pada waktu nanti akan melakukan pembalasannya sendiri. Kita tidak bertanya, apakah undang-undang itu akan dapat bekerja efektif atau dapat dilaksanakan secara praktis dan dapat bekerja efektif atau dapat dilaksanakan secara praktis dan dapat pula dikontrol dengan baik. Tampaknya orang cukup puas dengan mengeluarkan undang-undang, tanpa memikirkan tentang kemungkinan pelaksanaannya. Dengan cara demikian itu, maka tindakan pembuat undang-undang lebih mudah dan layak untuk disebut simbolik, tidak efektif. Orang berpikir, bahwa dengan kata-kata di atas kertas kita dapat menyelesaikan persoalan-persoalan, sedang efektivitas sosialnya tetap berada dalam kegelapan.”.
b. Sebagai Suatu Ragam Tekhnis.
Sebagai bahasa dengan ragam tekhnis, bahasa perundang-undangan merupakan sarana komunikasi di antara para ahli hukum. Di sini istilah-istilah diusahakan untuk dirumuskan sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya untuk bisa memenuhi kebutuhan akan tuntutan kerja mereka itu. Istilah-istilah yang khusus diciptakan sebagai hasil dari consensus antara mereka, memudahkan mereka berhubungan satu sama lain dan menghindarkan kesalah-fahaman. Dengan demikian, apa yang dirasakan sebagai suatu yang memusingkan pada orang kebanyakan, di kalangan para ahli hukum justru merupakan sarana komunikasi yang dibutuhkan. Mereka ini tidak bisa bekerja dengan bahasa dan istilah-istilah yang umum dan samar-samar. Oleh karena itu untuk dapat memasuki dunia (para ahli) hukum, orang perlu memahirkan diri terlebih dahulu dalam ragam bahasa yang dipakai di situ. Pada saat kita membicarakan masalah interpretasi di belakang nanti, kita akan kembali kepada pembicaraan mengenai masalah ini.
Bagaimanapun juga keadaan yang dihadapi dan pendapat orang mengenai perundang-undangan dengan ragam bahasanya tersebut, perundang-undangan merupakan sarana yang diunggulkan dan sekaligus puncak dari perkembangan hukum. Ia tidak dapat dilepaskan dari peradaban manusia dan telah menjadi standar baginya sehingga lain-lain bentuk hukum sedikit banyak dianggap sebagai variasi yang abnormal.
4. Perundang-undangan sebagai instrumen kebijakan.
Salah satu ciri dari hukum modern adalah penggunaannya secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kesadaran tersebut menyebabkan bahwa hukum modern itu menjadi begitu instrumental sifatnya dengan asumsinya, bahwa kehidupan social itu bisa dibentuk oleh kemauan social tertentu, seperti kemauan social dari golongan elit dalam masyarakat.
Penggunaan hukum sebagai instrumen demikian itu merupakan perkembangan mutakhir dalam sejarah hukum. Untuk bisa samapai pada tingkat perkembangan mutakhir dalam sejarah hukum. Untuk bisa sampai pada tingkat perkembangan yang demikian itu memang diperlukan persyaratan tertentu, seperti timbulnya pengorganisasian social yang makin tertib dan sempurna. Pengoraganisasian yang demikian itu tentunya dimungkinkan oleh adanya kekuasaan di pusat yang makin efektif, dalam hal ini tidak lain adalah negara.
Dari sejarah perkembangan bangsa-bangsa di Eropa, apa yang dikemukakan di atas memang tampak dengan jelas. Pada sekitar seratus tahun yang lalu oran masih beranggapan, bahwa pembuat undang-undang itu tugasnya tidak lain adalah untuk mencatat atauran-aturan yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat dan kemudian menuangkannya dalam bentuk undang-undang, itu pun hanya dalam keadaan-keadaan yang memang sangat memerlukan . Dengan demikian pola bawah-ke-atas merupakan konsep yang dominan dan hukum kebiasaan merupakan instrumen yang diunggulkan. Kalaupun kekuasaan tertinggi bisa menuangkannya dalam bentuk undang-undang merubahnya ia tak boleh.
Secara pelan-pelan keadaan berubah dan pembuatan hukum dalam artian yang sesungguhnya mulai diambil alih oleh kekuasaan tertinggi dalam negara dan sebaliknya peranan hukum kebiasaan semakin mengecil. Perkembangan yang demikian itu pada akhirnya mencapai puncaknya pada akhir abad ke-delapanbelas dan permulaan abad kesembilanbelas. Pada waktu itu negara pun memperoleh monopoli kekuasaan dalam wujud pembuatan dan pelaksanaan hukum. Sejak saat itu keragu-raguan tentang kedudukan negara sebagai satu-satunya kekuasaan yang boleh membuat perundang-undangan telah hilang.
Sebagai kelanjutan dari perkembangan yang demikian itu, setiap kebijakan yang ingin dilaksanakan harus melalui satu atau lain bentuk perundang-undangan. Tanpa prosedur yang demikian itu kesahan dari tindakan pemerintah dan negarapun dipertanyakan. Perkembangan yang demikian ini menyuburkan pembicaraan tentang kemungkinan-kemungkinan. Sekalipun demikian, ada semacam pedoman yang umum sifatnya, yaitu agar pengadilan menerima litera legis itu sebagai bukti yang satu-satunya dan yang menentukan bagi sentential legis tersebut. Interpretasi oleh badan tersebut hendaknya dimulai dari pengandaian bahwa pembuat undang-undang telah mengutarakan apa yang dimaksudkannya dan menyatakan maksudnya sebagaimana diutarakannya. Prinsip interpretasi yang pertama, dengan demikian, adalah ita scriptum est. Para Hakim hendaknya mulai dengan percaya dan tidak dengan kecurigaan, bahwa sentetia legis itu tidak teruraikan secara lengkap dan jelas.
Konsep interpretasi yang demikian itu sangat mirip dengan yang diajukan oleh Paul Scholten. Scholten juga memegang azas, bahwa hukum itu ada di dalam perundang-undangan, sehingga orang harus memberikan tempat yang tinggi kepadanya. Sekalipun hukum itu ada di situ, tetapi ia masih harus dicari, karena kita tidak bias “memungutnya” begitu saja dari kata-kata dan kalimat-kalimat dari undang-undang tersebut. Di sinilah kita menemukan perpaduan anatara litera legis dan sententia legis sebagaimana disebutkan dimuka. “Hukum itu ada, tetapi ia harus ditemukan dalam penemuan itulah terdapat yang baru”.
Perpaduan antara litera legis dan sentential legis itu dapat dilihat pada perkembangan langkah-langkah penafsiran berikut ini. Usaha ini dimulai dari penentuan mengenai arti harafiah dari perundang-undangan, yaitu yang lebih merupakan penerapan hukum dalam kerangka kebahasaan. Di sini artinya dicoba untuk ditarik dengan menggunakan norma.
Keseluruhan kecenderungan zaman modern sekarang adalah ke arah proses yang, sejak zaman Bentham, dikenal sebagao kodifikasi, yaitu reduksi terhadap seluruh corpus juris, sejauh menjadi praktis, dalam bentuk hukum perundang-undangan. Dalam hal ini Inggeris sangat ketinggalan dibanding dengan Eropa Daratan. Sejak pertengahan abad ke-delapanbelas proses itu telah berlangsung di negara-negara Eropa, dan sekarang ini telah sama sekali selesai. Hampir dimana-mana, kumpulan kuna yang tediri dari hukum-hukum sipil, gereja, kebiasaan dan perundang-undangan, telah memberikan tempat untuk peraturan-peraturan yang disusun dengan sedikit banyak ketrampilan dan sukses…”.
Gambaran di atas menunjukan bagaimana kodifikasi itu dimulai dari permulaan sekali, yaitu pada waktu di Eropa masih terdapat bermacam-macam jenis hukum, yang oleh Salmond disebut sebagai “medley”. Kebutuhan untuk melakukan kodifikasi juga timbul pada saat hukum perundang-undangan sudah berkembang menjadi suatu badan yang demikian besar dan banyaknya, sehingga orang tidak bisa dengan mudah memperoleh orientasi.
Tujuan umum dari kodifikasi adalah untuk membuat kumpulan perundang-undangan itu sederhana dan mudah dikausai, tersusun secara logis, serasi dan pasti. Sukses yang sudah dicapai dalam kodifikasi ini membangkitkan kegembiraan dan optimisme, bahwa semua persoalan hukum telah diselesaikan dan bahwa setiap kejadian dapat diputus atas dasar deduksi dari peraturan yang tersedia.
Tetapi segera tampak, anggapan bahwa kodifikasi itu cukup untuk mengatasi semua persoalan hukum adalah berlebih-lebihan. Apabila orang mengira, bahwa semuanya sudah tercakup di dalam kodifikasi, maka sesungguhnya ia hanya membuka jalan bagi terjadinya kesulitan-kesulitan di belakang hari. Hal ini desebabkan, oleh karena problem-problem akan timbul sesuai dengan perkembangan masa. Bagaimanapun, pembuat hukum tidak akan mampu untuk mengatasi adanya kekurangan-kekurangan dan kelemahan dalam dalam perundang-undangan pada umumnya dan kodifikasi pada pada khususnya. Kemenduaan (ambiguity), ketidakjelasan serta konflik-konflik antar bagian sendiri, merupakan sebagian dari kemungkinan kekurangan dan kelemahan yang demikian itu. Sesuai dengan Hukum proses social, yaitu bahwa problem (baru) senantiasa akan timbul, maka bagaimanapun sempurnanya pembuat hukum mengatasi kekuranga-kekurangan tersebut, ia tak dapat menolak timbulnya problem problem baru di kemudian hari. Dan apabila yang demikian itu timbul, maka yang sudah sempurnapun akan menjadi kurang.
Berdasarkan gambaran keadaan dan perkembangan kodifikasi sebagaimana dikemukakan di atas, maka cara yang paling baik untuk mendaya-gunakan kodifikasi adalah mengusahakan agar ia tetap bisa dipakai untuk menjadi sandaran bagi pemecahan problem-problem hukum di belakang hari. Dengan kata lain perundang-undangan dan kodifikasi itu harus lentur, tidak boleh kaku.
Salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam banyak tulisan atau litera scripta itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan sesuatu ide atau pikiran. Sehubungan dengan hal yang disebut belakangan ini orangpun suka menyebut tentang adanya semangat dari suatu peraturan. Oleh karena itu, usaha untuk menggali semangat yang demikan itu merupakan bagian dari keharusan yang melekat pada hukum perundang-undangan dan yang tidak diperlukan pada hukum kebiasaan. Usaha tersebut akan dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi atau konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan atau bentuk-bentuk otoritatif itu.
Keadaan yang ideal sebetulnya adalah manakala interpretasi tersebut tidak diperlukan atau sangat kecil peranannya. Ia bisa tercapai apabila perundang-undangan itu bisa dituangkan dalam bentuk yang jelas.
Pertama, kewajiban pengadilan untuk menyingkap dan mendasarkan tindakannya pada maksud yang sesungguhnya dari badan pembuat undang-undang, yaitu : mens atau sentitia legis-nya. Filsafat yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa inti dari undang -undang terletak di dalam semangatnya, sedangkan kata-kata itu hanya dipakai untuk mengutarakan maksud yang terkandung di dalamnya.
5. Kodifikasi dan Interpretasi.
Berulang kali telah dibicarakan, bahwa kelebihan dari hukum perundang-undangan adalah dalam segi kepastiannya. Kepastian ini dijamin oleh adanya pembuatan hukum yang dilakukan ini dijamin oleh adanya pembuatan hukum yang dilakukan secara sistematis oleh badan-badan yang khusus untuk itu dan tekhnik-tekhnik perumusannya yang terpelihara dan dikembangkan secara baik. Inti dari kesemuanya adalah dipakainya bentuk pengutaraan secara tertulis, jus scriptum.
Keadaan yang demikian itu menciptakan jalan perkembangan sendiri, yaitu berkembangnya peraturan-peraturan dalam bentuknya yang tertulis tersebut, suatu corpus juris. Manakala jumlah peraturan itu telah menjadi demikian banyak, maka orang pun mulai berusaha untuk mencari jalan bagaimana dapat menguasai badan perundang-undangan itu dengan baik. Jalan ke luar ini disebut kodifikasi.
C. K E B I A S A A N
Peranan kebiasaan dalam kehidupan hukum pada masa sekarang ini memang sudah banyak merosot. Sebagaimana ditulis di muka, ia tidak lagi merupakan sumber yang penting sejak ia didesak oleh perundang-undangan dan sejak system hukum semakin didasarkan pada hukum perundang-undangan jus scriptum.
Peranan kebiasaan yang besar telah kita bicarakan pada waktu dikemukakan dua model masyarakat dari Hart, yaitu masyarakat dengan tatanan aturan-aturan kewajiban primer dan sekunder. Pada tatanan yang disebut pertama, pedoman tingkah laku yang dibutuhkan masih sangat sederhana dan mampu dicukupi oleh norma-norma yang elementer sifatnya. Sifat elementer ini terlihat baik pada isi maupun bentuknya. Bagaimanapun juga, yang penting untuk dicatat disini adalah, bahwa norma-norma pada tatanan seperti itu sangatlah dekat dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Tidak seperti halnya pada perundang-undangan, waktu itu belum dijumpai usaha yang dilakukan secara sadar untuk membuat pedoman tingkah laku dalam bentuk yang formal definitive, yaitu tertulis.
Sebagaimana diutarakan di muka, munculnya hukum perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari struktur pengorganisasian dalam masyarakat, yaitu tampilnya satu kekuasaan-kekuasaan lain di dalamnya. Kekuasaan yang demikian itu tidak bisa menerima adanya kekuasaan disampingnya. Berkembangnya hukum perundang-undangan, yang hanya bersumber pada badan perundang-undangan yang berwenang itu, membawa serta timbulnya kelompok pemikiran serta ajaran yang mendukung perkembangan tersebut, yaitu para dogmatisi hukum atau ahli hukum dogmatic. Mengenai masalah ini, bagi ahli sejarah yang menekuni fakta-fakta, hukum kebiasaan merupakan hidangan yang lezat, tetapi bagi para dogmatisi merupakan suatu perkosaan, oleh karena itu ia tidak bisa membangun system hukumnya mulai dengan hukum kebiasaan.
Tetapi bagaimanapun, kebiasaan tidak dapat sama sekali ditinggalkan, sekalipun suatu negara telah memakai system hukum perundang-undangan, Ini terutama terjadi apabila kita tetap tidak melepaskan dari pikiran kita mengenai adanya masyarakat di samping negara. Sekalipun negara telah menjadi organisasi yang bersifat nasional, namun berdirinya tidak bisa menghapuskan masyarakat, berati pada waktu yang bersamaan, pada satu wilayah, kita menjumpai dua macam “masyarakat”, masyarakat hukum dan masyarakat social. Masyarakat hukum dioraganisasi oleh hukum perundang-undangan, sedang lainnya oleh norma-norma social, termasuk didalamnya kebiasaan. “Kebiasaan bagi masyarakat adalah hukum bagi negara”. Keduanya tidak saling meniadakan. Masing-masing merupakan ekspresi dan perwujudan azas-azas hukum dan keadilan menurut pandangan dan kemampuan manusia. Perbedaannya terletak pada hukum yang membedakan azas-azas tersebut bukan melalui kekuasaan negara, melainkan melalui penerimaan dan persetujuan dari pendapat umum masyarakat keseluruhannya.
Seperti diutarakan di muka, dengan diterimanya system hukum perundang-undangan sebagai system yang dominan maka masuknya kebiasaan ke dalam system hukum haruslah dengan sepengetahuan hukum perundang-undangan pula. Hal ini terjadi, misalnya, melalui suatu peraturan yang mengatakan, bahwa “Praktek-praktek yang diterima secara diam-diam termasuk dalam perjanjian, sekalipun hal itu tidak ditegaskan di dalamnya”, Perkembangan kedaan yang demikian ini sebetulnya menimbulkan persyaratan bagi berlakunya dan diterimanya kebiasaan, yaitu bahwa ia tidak bertentangan dengan hukum perundang-undangan.
Kebiasaan serta praktek-praktek yang dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat memeng tak boleh dikesampingkan begitu saja, manakala kita ingin benar-benar mempelajari dan mengetahui hukum yang sungguh-sungguh berlaku dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Cukup banyak praktek-praktek yang dijalankan yang menyampingkan keharusan-keharusan yang dituntut oleh hukum perundang-undangan. Ini berarti bahaa di bawah permukaan kehidupan hukum perundang-undangan dapat dijumpai suatu tatanan kehidupan yang sedikit banyak mantap juga, tetapi yang didasarkan pola-pola tingkah laku yang bukan didasarkan pada hukum perundang-undangan. Barangkali baik sekali apabila kita mengutip kalimat Vinogradoff yang mencoba merumuskan tatanan kehidupan yang demikian itu sebagai didasarkan pada :
“….praktek-praktek dalam kehidupan sehari-hari yang dituntun oelh pertimbangan memberi dan menerimadalam lalu lintas hubungan antara orang-orang serta kerja sama antara orang-orang yang bersifat masuk akal…”
Kita lihat dalam ungkapan tersebut, bahwa yang menjadi ukuran bukannya apakah perbuatan tersebut sesuai dengan peraturan hukum, melainkan dengan ukuran masuk akal atau pantas atau layak. Untuk memperjelas apa yang dikehendaki oleh Vinogradoff, berikut ini dimuat kelanjutan dari kutipan di atas.
“Baik kewarisan, hak milik serta perjanjian tidak dimulai oleh perundang-undangan atau pun konflik. Kewarisan mempunyai akar-akarnya pada keharusan untuk mengatur rumah tangga yang kepalanya meninggal dunia. Hak milik mulai dengan menduduki dan menguasai sesuatu (occupation). Asal usul kontrak dapat dilacak kembali samapai kepada tukar-menukar.”
Dengan uraiannya itu Vinogradof hendak menunjukkan betapa kuatnya peranan tingkah lakau serta hubungan-hubungan yang bukan berdasar pada hukum perundang-undangan bagi timbulnya tatanan dalam masyarakat. Penelitian-penelitian sosiologi hukum juga banayak mengungkapakan berlakunya praktek-praktek yang demikian itu sekalipun suatu negara memakai sistem hukum perundang-undangan.
D. PRESEDEN
Preseden ini merupakan suatu lembaga yang lebih dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law System. Sejumlah besar jus non scriptum yang membentuk sistem common law itu sendiri hampi seluruhnya darai dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil ini dihimpun ke dalam sejumlah sanagat besar law report yang sudah mulai sejak akhir abad ke-tigabelas. Keadaan ini dimungkinkan karena sistemnya mengikuti azas stare decisis, yang artinya adalah “berhenti pada atau mengikuti keputusan-keputusan”.
Apabila muncul situasi atau serangkaian fakta-fakta seperti pernah terjadi sebelumnya, maka keputusan yang akan diberikan oleh pengadilan dapat diharapkan sama dengan keputusan yang dijatuhkan pada waktu itu. Karakteristik dari sistem yang demikian ini dapat kita lihat pada rumusan hakim O.W. Holmes tentang hukum yang kemudian dikenal sebagai Holmesian Dictumberikut ini,“The prophecies of what the courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I mean by the law”.
Salah satu esensi dari doktrin atau ajaran preseden dalam sistem common law adalah, bahwa ketentuan-ketentuan hukum itu dikembangkan dalam proses penerapannya. Hal ini berarti, bahwa ia merupakan hasil karya dari para Hakim dan bukan dari para ahli hukum yang lain, seperti pengajar-pengajar dari perguruan tinggi, bagaimana pun pandainya mereka ini. Sebaliknya, karya-karya hakim itu hanya diakui sebagai hukum manakala ia dihasilkan dalam suatu proses pengadilan.
3. Sumber-sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan terbentuknya peraturan-peraturan. Peraturan tersebut biasanya bersifat memaksa. Sumber-sumber Hukum ada 2 jenis yaitu:
1. Sumber-sumber hukum materiil, yakni sumber-sumber hukum yang ditinjau dari berbagai perspektif.
2. Sumber-sumber hukum formiil, yakni UU, kebiasaan, jurisprudentie, traktat dan Doktrin
Undang-Undang
ialah suatu peraturan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dipelihara oleh penguasa negara. Contohnya UU, PP, Perpu dan sebagainya
Undang-Undang Dasar 1945, UUD 1945 sebagai sumber hukum, yang merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan dan merupakan dasar ketentuan-ketentuan lainnya.
Ketetapan MPR, Dalam Pasal 3 UUD 1945 ditentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dengan istilah menetapkan tersebut maka orang berkesimpulan, bahwa produk hukum yang dibentuk oleh MPR disebut Ketetapan MPR.
Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, Undang-undang mengandung dua pengertian, yaitu :
1. undang-undang dalam arti materiel : peraturan yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
2. undang-undang dalam arti formal : keputusan tertulis yang dibentuk dalam arti formal sebagai sumber hukum dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945.
Peraturan Pemerintah
Untuk melaksanakan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR, oleh UUD 1945 kepada presiden diberikan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam hal ini berarti tidak mungkin bagi presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada undang-undangnya, sebaliknya suatu undang-undang tidak berlaku efektif tanpa adanya Peraturan Pemerintah.
Keputusan Presiden
UUD 1945 menentukan Keputusan Presiden sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun 1959 berdasarkan surat presiden no. 2262/HK/1959 yang ditujukan pada DPR, yakni sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan Penetapan Presiden. Kemudian melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Keputusan Presiden resmi ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945. Keputusan Presiden berisi keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dan Peraturan Pemerintah.
Peraturan pelaksana lainnya
Yang dimaksud dengan peraturan pelaksana lainnya adalah seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya yang harus dengan tegas berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Convention (Konvensi Ketatanegaraan)
Konvensi Ketatanegaraan adalah perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga ia diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan. Konvensi Ketatanegaraan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang, karena diterima dan dijalankan, bahkan sering kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan menggeser peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
Traktat
Traktat atau perjanjian yaitu perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Kalau kita amati praktek perjanjian internasional bebrapa negara ada yang dilakukan 3 (tiga) tahapan, yakni perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification). Disamping itu ada pula yang dilakukan hanya dua tahapan, yakni perundingan (negotiation) dan penandatanganan (signature).
Kelembagaan Negara Berdasarkan UUD 1945
- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
- Presiden dan Wakil Presiden
- Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
- Mahkamah Agung (MA)
HUBUNGAN ANTARA LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN UUD 1945
Hubungan antara MPR – Presiden MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mengangkat presiden. Dalam menjalankan tugas pokok dalam bidang eksekutif (pasal 4(1)) presiden tidak hanya menyelenggarakan pemerintahan negara yang garis-garis besarnya telah ditentukan oleh MPR saja, akan tetapi termasuk juga membuat rencana penyelenggaraan pemerintahan negara. Demikian juga presiden dalam bidang legislatif dijalankan bersama-sama dengan DPR (pasal 5)
Hubungan antara MPR - DPR
Melalui wewenang DPR, MPR mengemudikan pembuatan undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya agar undang-undang dan peraturan-peraturan itu sesuai dengan UUD. Melalui wewenang DPR ia juga menilai dan mengawasi wewenang lembaga-lembaga lainnya.
Hubungan DPR - Presiden
Sesudah DPR bersama Presiden menetapkan UU dan RAP/RAB maka didalam pelaksanaan DPR berfungsi sebagai pengawas terhadap pemerintah. Pengawasan DPR terhadap Presiden adalah suatu konsekwensi yang wajar, yang mengandung arti bahwa presiden bertanggung jawab kepada DPR. Bentuk kerjasama antara presiden dengan DPR diartikan bahwa Presiden tidak boleh mengingkari partner legislatifnya.
Hubungan antara DPR - Menteri-menteri
Menteri tidak dapat dijatuhkan dan diberhentikan oleh DPR, tapi konsekuensi dari tugas dan kedudukannya, Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR, para Menteri juga dari pada keberatan-keberatan DPR yang dapat mengakibatkan diberhentikannya Menteri.
Hubungan antara Presiden - Menteri-menteri
Mereka adalah pembantu presiden. Menteri mempunyai pengaruh yang besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara yang menyangkut departemennya. Dalam praktek pemerintahan, Presiden melimpahkan sebagian wewenang kepada menteri-menteri yang berbentuk presidium.
Hubungan antara MA - Lembaga Negara lainnya
Dalam Penjelasan UUD 45 Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun kekuasaan atau kekuatan lainnya. Sistem pemerintahan Negara yang ditegaskan dalam UUD 1945 beserta Penjelasannya yaitu :
Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat);
Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sistem Konstitusional, yang berarti bahwa pemerintahan berdasar atas sistem Konstitusi (Hukum Dasar); jadi tidak bersifat kekuasaan yang tidak terbatas (absolutismus);
Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti garis besar haluan negara, undang-undang dan sebagainya.
Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, MPR mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan jalnnya negara dan bangsa, yaitu berupa :
1. menetapkan undang-undang dasar
2. menetapkan garis-garis besar dari haluan Negara
3. mengangkat presiden dan wakil presiden
Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR;
Penjelasan UUD 1945 menyatakan :"Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the President". Oleh karena itu presiden adalah mandataris MPR, presidenlah yang memegang tanggung jawab atas jalnnya pemerintahan yang dipercayakan kepadanya dan tanggung jawab itu adalah kepada MPR bukan kepada badan lain.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
Menurut sistem pemerintahan, presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR tetapi presiden bekerja sama dengan dewan. Dalam hal pembuatan undang-undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara presiden harus mendapatkan persetujuan DPR.
Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR;
Pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri negara sepenuhnya wewenang presiden. Menteri-menteri bertanggungjawab kepada presiden.
Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas, karena Kepala Negara harus bertanggung jawab kepada MPR dan kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :"Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan "diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Kunci sistem ini bahwa kekuasaan presiden tidak tak terbatas ditekankan lagi dalam kunci sistem yang ke 2 sistem Pemerintahan Konstitusional, bukan bersifat absolut dengan menunjukkan fungsi/peranan DPR dan fungsi/peranan para menteri, yang dapat mencegah kemungkinan kemerosotan pemerintahan di tangan presiden ke arah kekuasaan mutlak (absolutisme).
Adapun yang dimaksud dengan UUD 1945 ialah Konstitusi Republik Indonesia yang pertama yang terdiri dari :
a. Pembukaan, meliputi 4 alinea
b. Batang Tubuh atau Isi UUD 1945 meliputi: 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Aturan Tambahan
c. Penjelasan resmi UUD 1945
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MENURUT UUD 1945
Adapun UUD 1945 RI antara lain memuat Bab III yang berjudul : Kekuasaan Pemerintahan Negara. Bab III ini terdiri dari 12 pasal, yaitu pasal 4 sampai dengan pasal 15. Pasal 4 berbunyi sebagai berikut : Presiden Republik Indonesia memegang Kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-undang Dasar; Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Pasal 5 menentukan : bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden menetapkan Peraturan Pemeritah untuk menjalankan Undang-undang sebagai mana semestinya. Kemudian menyusul pasal 6 sampai pasal 15.
Kemudian terdapat Bab V yang hanya mempunyai 1 pasal tentang Kementerian Negara. Selanjutnya ada Bab VII dari pasal 19 sampai 22 tentang DPR. Kemudian ada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 24 dan 25.
Dari bab-bab diatas ternyata UUD 1945 tidak membedakan dengan tegas tugas antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yidikatif seperti Montesquieu dengan Trias Politicanya.
Malahan Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara meliputi kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif, termasuk hak-hak prerogatif. Selanjutnya kekuasaan legislatif diatur juga dalam Bab VII mengenai DPR, sedangkan kekuasaan eksekutif juga pada Bab V mengenai Kementerian Negara.
Sumber:
staff.ui.ac.id/internal/131861375/material/sumberhukum.06.ppt
http://joeniarianto.files.wordpress.com/2008/10/sumber-sumber-hukum-compatibility-mode.pdf