Minggu, 12 Mei 2013

JIP



Perencanaan Agregrat menurut David D. Bedworth adalah perencanaan yang dibuat untuk menentukan total  permintaan dari seluruh elemen produksi dan jumlah tenaga kerja yang diperlukan. Menurut T.Hani Handoko perencanaan agregrat adalah proses perencanaan kuantitas dan pengaturan waktu keluaran selama periode waktu tertentu melalui penyesuaian variabel-variabel tingkat produksi karyawan, persediaan, variabel yang dapat dikendalikan lainnya [1]. Perencanaan agregat merupakan perencanaan produksi jangka menengah , horison perencanaannya biasanya berkisar antara 1 sampai 24 bulan atau bisa bervariasi dari 1 sampai 3 tahun dengan tujuan produksi merupakan suatu penyusunan suatu rencana produksi untuk memenuhi permintaan pada waktu yang tepat dengan menggunakan sumber- sumber yang tersedia dengan biaya yang paling minimum keseluruhan produk. Perencanaan agregrat ini merupakan langkah awal aktivitas perencanaan produksi yang dipakai sebagai pedoman untuk langkah selanjutnya yaitu penyusunan jadwal induk produksi [1].
Menurut Vincent Gaspersz (2004), Pada dasarnya jadwal produksi induk (master production schedule) merupakan suatu pernyataan tentang produk akhir (termasuk parts pengganti dan suku cadang) dari suatu perusahaan industri manufaktur yang merencanakan memproduksi output berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu. Aktivitas Master Production Scheduling (MPS) pada dasarnya berkaitan dengan bagaimana menyusun dan memperbaharui jadwal produksi induk (master production schedule), memproses transaksi dari MPS, dan memberikan laporan evaluasi dalam periode waktu yang teratur untuk keperluan umpan balik dan tinjauan ulang. Penjadwalan produksi induk pada dasarnya berkaitan dengan aktivitas melakukan empat fungsi utama berikut [2].
1.      Menyediakan atau memberikan input utama kepada sistem perencanaan kebutuhan material dan kapasitas (material and capacity planning/M&CRP).
2.      Menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian (production and purchase ordes) untuk item-item MPS.
3.      Memberikan landasan untuk penentuan kebutuhan sumber daya dan kapasitas.
4.      Memberikan basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk (delivery promises) kepada pelanggan.
Sebagai suatu aktivitas proses, penjadwalan produksi induk (MPS) membutuhkan lima input utama. Yaitu sebagai berikut [2].
1.      Data permintaan total merupakan salah satu sumber data bagi proses penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan ramalan penjualan (sales forecasts) dan pesanan-pesanan (orders).
2.      Status inventori berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory, stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock), pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released production and purchase orders), dan firm planned orders.
3.      Rencana produksi memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS harus menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, inventory, dan sumber-sumber daya lain dalam rencana produksi tersebut.
4.      Data perencanaan berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot-sizing yang harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu tunggu (lead time) dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file induk dari item (Item Master File).
5.      Informasi dari Rough Cut Capacity Planning (RCCP) berupa kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS. RCCP menentukan kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS, menguji kelayakan dari MPS, dan memberikan umpan-balik kepada perencana atau penyusun jadwal produksi induk untuk mengambil tindakan perbaikan apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian antara penjadwalan produksi induk dan kapasitas yang tersedia.
Jadwal induk produksi (JIP) adalah rencana tertulis yang menunjukan apa dan berapa banyak setiap produk yang akan dibuat dalam setiap periode untuk beberapa periode yang akan datang. Jadwal induk produksi ini merupakan rwncana induk yang akan dijadikan pedoman utama dalam rencana pengerjaan, kebijaksanaan persediaan dan kebijakan finansial, pembuatan jadwal induk produksi relatif sulit karena order atau permintaan bersifat tidak pasti [1]. Jadwal Induk Produksi (JIP) manyajikan rencana produksi detail untuk setiap produk akhir, dan merupakan rencana induk yang akan dijadikan pedoman utama dalam pengerjaan, kebijakan persediaan, kebijakan financial, pembebanan tenaga kerja, penjadwalan mesin, kebijakan alternatif produksi : regular, lembur, subkontrak, dan lain-lain. Karena JIP merupakan sumber rencana dan kebijakan bagi departemen lain dan departemen lantai produksi, maka dalam membuat JIP ini harus ada koordinasi dengan departemen terkait dan dengan keterbatasan sumber daya ( kapasitas) perusahaan. Bila Jadwal Induk Produksi (JIP) tidak disusun secara tepat maka akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut [3].
1.      Produk tidak sesuai dengan permintaan.
Jumlah produksi terlalu banyak akan beresiko modal tertanam pada persediaan. Semestinya modal dapat diputar (diinvestasikan) pada kegiatan lain yang lebih menguntungkan atau ditabung di bank untuk dapat bunga. Resiko lainnya adalah timbulnya persediaan. Meningkatnya jumlah persediaan akan meningkatkan biaya untuk penanganan, listrik dan lain-lain, serta resiko barang menjadi rusak. Jumlah produksi kurang dari permintaan akan mengakibatkan stock out . konsumen bisa kecewa, perusahaan tidak jadi dapat keuntungan, dan bahkan konsumen bisa lari kepesaing.
2.      Tidak optimalnya utilisasi kapasitas.
Utilisasi (tingkat penggunaan) kapasitas yang baik adalah jika 80% kapasitas dapat digunakan secara seragam (tidak naik turun) di setiap periode produksi. Utilisasi rendah membuat investasi yang sudah ditanam sia-sia, bisa jadi sumber daya lain menjadi standby, biaya operasi dan opportunity cost terjadi terus. Utilisasi melebihi beban normal beresiko sumber daya cepat rusak.
3.      Keterlambatan waktu penyerahan.
Konsumen atau pelanggan yang kecewa karena keterlambatan penyerahan produk bisa lari ke produk pesaing.
4.      Beban produksi tidak merata.
Beban kerja tidak merata pada setiap periode akan menimbulkan banyak permasalahan, salah satunya berhubungan dengan tenaga kerja. Beban kerja yang naik turun setiap periode mengakibatkan jumlah tenaga kerja yang diperlukan naik turun
Terdapat tiga metode yang digunakan dalam perhitungan jadwal induk produksi, antara lain tenaga kerja tetap, tenaga kerja berubah, dan transportasi. Berikut adalah penjabarannya [3].
a.       Metode Tenaga Kerja Tetap
Metode tenaga kerja tetap melakukan variasi tingkat persediaan dengan cara mempertahankan rata-rata tingkat produksi yang tetap dan menyimpan kelebihan produksi pada bulan-bulan tertentu untuk digunakan pada bulan-bulan lain yang mengalami kelebihan permintaan. Apabila jumlah produksi lebih tinggi dari permintaan, kelebihan produksi itu disimpan sebagai persediaan. Jika jumlah produksi lebih kecil daripada permintaan, kekurangan produksi diambil dari persediaan. Metode tenaga kerja tetap melakukan variasi tingkat persediaan dengan cara mempertahankan rata-rata tingkat produksi yang tetap dan menyimpan  kelebihan produksi pada bulan-bulan tertentu untuk digunakan pada bulan-bulan lain yang mengalami kelebihan permintaan. Apabila jumlah produksi lebih tinggi dari permintaan, kelebihan produksi itu disimpan sebagai persediaan. Jika jumlah produksi lebih kecil daripada permintaan, kekurangan produksi diambil dari persediaan. Kecepatan produksi konstan. Jika berlebihan produk disimpan untuk persediaan. [3].
b.      Metode Tenaga Kerja Berubah
Metode tenaga kerja berubah adalah metode perencanaan produksi agregat, dimana jumlah tenaga kerja mengalami perubahan. Rencana produksi metode tenaga kerja berubah dibuat sesuai kebutuhan (demand) dengan menambah tenaga kerja jika kekurangan tenaga kerja atau mengurangi tenaga kerja jika kelebihan tenaga kerja. Metode tenaga kerja berubah berupa strategi melakukan variasi jumlah tenaga kerja dengan cara menambah atau mengurangi sejumlah tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan kapasitas produksi pada bulan yang bersangkutan.
c.       Metode Transportasi
Metode transportasi merupakan metode perencanaan produksi agregat yang berfungsi untuk menentukan rencana pengiriman barang dengan biaya minimal. Menurut Ayu (1994) masalah transportasi juga membahas pendistribusian suatu komoditas dari sejumlah sumber (supply) ke sejumlah tujuan (demand) dengan tujuan untuk meminimumkan biaya yang terjadi dari kegiatan tersebut, karena ide dasar dari masalah transportasi adalah meminimasi biaya total transportasi. Ciri dari masalah transportasi yaitu terdapatnya sejumlah sumber dan sejumlah tujuan, jumlah komoditas sumber atau tujuan besarnya tertentu dan kapasitasnya sesuai, serta biaya yang terjadi besarnya tertentu. Ciri dari masalah transportasi antara lain [4].
1.      Terdapat sejumlah sumber dan tujuan tertentu.
2.      Kuantitas komoditi/barang yang didisitribusikan dari setiap sumber dan yang diminta oleh setiap tujuan besarnya tertentu.
3.      Komoditi yang dikirim/diangkut dari suatu sumber ke suatu tujuan besarnya sesuai dengan permintaan dan atau kapasitas sumber.
4.      Ongkos pengangkutan komoditi dari suatu sumber ke suatu tujuan besarnya tertentu



DAFTAR PUSTAKA

[1]         Baroto, Teguh. 2002,  Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Jakarta :
                  Graha Indonesia
[2]         Gaspersz, Vincent. 2004. Production Planning and Inventory Control. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
[3]          Heizer Jay, Render Barry. 2004. Operations Management. Jakarta: Salemba 4.
[4]          Herjanto, Eddy. 2004. Management Operation. Jakarta : Penerbit  Grasindo
 



MRP



Material Requirement Planning (MRP) dapat didefinisikan sebagai suatu teknik atau set prosedur yang sistematis dalam penentuan kuantitas serta waktu dalam proses pengendalian kebutuhan bahan terhadap komponen-komponen permintaan yang saling bergantungan (Dependent demand items) [1]. Sedangkan menurut baroto material requirement panning (MRP) adalah suatu prosedur logis berupa aturan keputusan dan teknik transaksi berbasis komputer yang dirancang untuk menterjemahkan jadwal induk produksi menjadi kebutuhan bersih untuk semua item [2].
1.      Tujuan dari MRP untuk menghasilkan informasi persediaan yang mampu digunakan untuk mendukung melakukan tindakan secara tepat dalam melakukan produksi. Agar MRP dapat berfungsi dan dioperasionalisasikan dengan efektif ada beberapa persyaratan dan asumsi yang harus dipenuhi. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah [1].
2.      Tersedianya Jadwal Induk Produksi (Master Production Schedule), yaitu suatu rencana produksi yang menetapkan jumlah serta waktu suatu produk akhir harus tersedia sesuai dengan jadwal yang harus diproduksi. Jadwal Induk Produksi ini biasanya diperoleh dari hasil peramalan kebutuhan melalui tahapan perhitungan perencanaan produksi yang baik, serta jadwal pemesanan produk dari pihak konsumen.
3.      Setiap item persediaan harus mempunyai identifikasi yang khusus. Hal ini disebabkan karena biasanya MRP bekerja secara komputerisasi dimana jumlah komponen yang harus ditangani sangat banyak, maka pengklasifikasian atas bahan, bagian atas bahan, bagian komponen, perakitan setengah jadi dan produk akhir haruslah terdapat perbedaan yang jelas antara satu dengan yang lainnya.
4.      Tersedianya struktur produk pada saat perencanaan. Dalam hal ini tidak diperlukan struktur produk yang memuat semua item yang terlibat dalam pembuatan suatu produk apabila itemnya sangat banyak dan proses pembuatannya sangat komplek. Walaupun demikian, yang penting struktur produk harus mampu menggambarkan secara gamblang langkah-langkah suatu produk untuk dibuat, sejak dari bahan baku sampai menjadi produk jadi.
5.      Tersedianya catatan tentang persediaan untuk semua item yang menyatakan status persediaan sekarang dan yang akan datang.
Suatu sistem MRP pada dasarnya bertujuan untuk merancang suatu sistem yang mampu menghasilkan informasi untuk mendukung aksi yang tepat baik berupa pembatalan pesanan, pesan ulang, atau penjadwalan ulang. Aksi ini sekaligus merupakan suatu pegangan untuk melakukan pembelian dan/ atau produksi. Ada 4 macam yang menjadi ciri utama MRP, yaitu [2].
1.      Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat, kapan suatu pekerjaan akan selesai (material harus tersedia) untuk memenuhi permintaan produk yang dijadwalkan berdasarkan MPS yang direncanakan.
2.      Menentukan kebutuhan minimal setiap item, dengan menentukan secara tepat sistem penjadwalan.
3.      Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan, dengan memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan suatu pesanan harus dilakukan.
4.      Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan.Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan pada waktu yang dikehendaki, maka MRP dapat memberikan indikasi untuk melaksanakan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistis. Seandainya penjadwalan ulang ini masih tidak memungkinkan untuk memenuhi pesanan, maka pembatalan terhadap suatu pesanan harus dilakukan. Terdapat beberapa mekanisme dasar dari proses Material requirement planning. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut [3].
1.      Lead Time, merupakan jangka waktu yang dibutuhkan sejak MRP menyarankan suatu pesanan sampai item yang dipesan itu siap untuk digunakan
2.      On Hand, meupakan inventory on-hand yang yang menunjukan kuantitas dari item yang secara fisik aada dalam stockroom
3.      Lot Size, merupakan kuantitas pesanan dari item yang memberitahukan MRP berupa banyak kuantitas yang harus dipesan serta teknik lot-sizing apa yang dipakai
4.      Safety Stock, merupakan stock pengaman yang diterapkan oleh perencanaan MRP untuk mengatasi fluktuasi dalam permintaan atau penawaran
5.      Planning Horizon, merupakan banyaknya waktu kedapan yang tercangkup dalam perencanaan harus ditrapkan paling sedikitnya sepanjang waktu tunggu kumulatif dari sekumpulan item yang terlibat.
6.      Gross Requirements, merupakan total dari semua kebutuhan termasuk kebutuhan yang diantipasi untuk setiapo periode waktu. Suatu parts tertentu dapat memiliki kebutuhan kotor yang mencangkup dependent demand atau idependent demand
7.      Projek On-Hand, merupakan projeced available balance yang tidak termasuk planned order. Projek on-hand dihitung berdasarkan formula  Projected on-hand= On-hand pada awal periode + Scheduled Receipts – Gross Requirements
Ada 3 Input dan beberapa output dalam MRP yang dibutuhkan dalam konsep MRP. Sebagai berikut yaitu : [3]
1.    Jadwal Induk Produksi (Master production schedule)
Merupakan suatu rencana produksi yang menggambarkan hubungan antara kuantitas setiap jenis produk akhir yang diinginkan dengan waktu penyediaannya. Jadwal Induk Produksi (JIT), didasarkan pada peramalan atas permintaan dari setiap produk akhir yang akan dibuat. Hasil peramalan (perencanaan jangka panjang) dipakai untuk membuat rencana produksi (perecanaan jangka sedang) yang pada akhirnya dipakai untuk membuat JIP (perencanaan jangka pendek) yang berisi perencanaan secara mendetail mengenai “jumlah produksi” yang dibutuhkan untuk setiap produk akhir beserta “periode waktunya” untuk suatu jangka perencanaan dengan memperhatikan kapasitas yang tersedia. Secara garis besar pembuatan suatu JIP biasanya dilakukan atas tahapan-tahapan sebagai berikut [4].
a.         Identifikasi sumber permintaan dan jumlahnya, sehingga dapat diketahui besarnya permintaan produk akhir setiap periodenya.
b.        Menentukan besarnya kapasitas produksi yang diperlukan untuk memenuhi permintaan yang telah diidentifikasikan. Perencanaan ini biasanya dilakukan pada tingkat agregat, sehingga masih merupakan perencanaan global. Dalam tahap ini, identifikasi kemampuan dari setiap sumber daya yang dimiliki untuk menentukan kesanggupan berproduksi.
c.         Menyusun rencana rinci dari setiap produk akhir yang akan dibuat. Tahap ini merupkan penjabaran (disagregasi) dari rencana agregat, sehingga akan didapat jadwal produksi setiap produk akhir yang dibuat dan periode akhir yang dibuat dan periode waktu pembuatannya. Selain itu juga dijadwalkan sumber daya yang diperlukan.
2.    Struktur Produk (Product structure Record & Bill of Material)
Berisi nformasi tentang hubungan antara komponen-komponen dalam suatu proses assembling. Informasi ini dibutuhkan dalam menentukan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih suatu komponen. Selain itu, stuktur produk juga berisi informasi tentang “jumlah kebutuhan komponen” pada setiap tahap assembling dan “jumlah produk akhir” yang harus dibuat [3].Merupakan kaitan antara produk dengan komponen penyusunnya. Informasi yang dilengkapi untuk setiap komponen ini meliputi [3].
a.       Jenis komponen
b.      Jumlah yang dibutuhkan
c.       Tingkat penyusunannya
d.      Pesanan komponen dari perusahaan lain yang membutuhkan  yaitu pesanan antar perusahaan atau kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak berhubungan dengan produksi, seperti halnya untuk eksperimen, tes destruktif, promosi, pemeliharaan serta untuk kepentingan lainnya.
e.       Peramalan atas item yang bersifat tidak bergantungan.
3.    Status Persediaan (Inventory Master File atau Inventory Status Record)
Menggambarkan keadaan dari setiap komponen atau material yang ada dalam persediaan, yang berkaitan dengan [3].
a.       Jumlah persediaan yang dimiliki pada setiap periode (on hand inventory )
b.      Jumlah barang dipesan dan kapan akan datang (on order Inventory )
c.       Waktu ancang – ancang ( lead time ) dari setiap bahan.
Setiap item persediaan harus diidentifikasikan secara jelas jumlahnya karena transaksi-transaksi yang terjadi, seperti penerimaan, pengeluaran, produk cacat, dan daa-data tentang lead time, teknik ukuran lot yang dipakai. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalajan dalam perencanaan [3].
Output dari sistem perhitungan MRP adalah penentuan jumlah masing-masing BOM dari item yang dibutuhkan bersamaan dengan tanggal yang dibutuhkannya. Informasi ini digunakan untuk merencanakan pelepasan pesanan (order release) untuk pembelian dan pembuatan sendiri omponen-komponen yang dibutuhkan. Pelepasan yang direncanakan (planned order release) secara otomatis dihasilkan oleh sistem komputer MRP bersamaan dengan pesanan-pesanan yang harus dijadwalkan kembali, modifikasi, ditangguhkan, atau dibatalkan [3].
Dengan cara ini, MRP menjadi suatu alat untuk perencanaan operasi bagi manajer produksi. Berdasarkan uraian di atas, output yang dapat diperoleh dari sistem MRP dapat dirangkum sebagai berikut : [3].
1.         Menentukan jumlah kebutuhan material serta waktu pemesannya dalam rangka memenuhi permintaan produk akhir yang sudah direncanakan dalam JIP.
2.         Menentukan jadwal pembuatan komponen yang menyusun produk akhir. Dengan diketahuinya kebutuhan produk akhir maka MRP dapat menentkan secara tepat cara penjadwalan setiap komponen atau material sehingga onkos yang dikeluarkan minimum.
3.         Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan yang berarti MRP mampu memberikan indikasi kapan pembatalan atas pesanan harus dilakukan. Suatu pemesanan dalam hal ini dapat dilakukan melalui pembelian atau merupakan proses pembuatan yang dilakukan di pabrik sendiri.
4.         Menentukan penjadwalan ulang produksi atau pembatalan atas suatu jadwal produksi yang sudah direncanakan. Apabila kapasitas produksi yang sudah ada tidak mampu memenuhi pesanan yang telah dijadwalkan pada waktu yang telah ditentukan, maka MRP dapat memberikan indikasi untuk melakukan rencana ulangpenjadwalan produksi. Rencana ulang ini akan dapat dilakukan setelah adanya kesepakatan penyerahannya. Jika kesepakatan tidak dapat dicapai, maka berarti bahwa pembatalan atas suatu pemesanan terpaksa dilakukan. Denga demikian MRP mampu memberikan indikasi tidakan antara permintaan dan kemampuan yang dimiliki.
            MRP merupakan yang dinamik, yang artinya bahwa rencana yang dibuat perlu disesuaikan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Kemampuan untuk melakukan penyeseuaian ini tegantung kepada kemampuan manajemen dan system informasi yang ada. Terdapat  4 langkah dasar yang harus diterapkan satu per satu pada periode perencanaan dan pada setiap item penyusunan MRP, yaitu :
1.       Netting
Netting adalah proses perhitungan kebutuhan bersih untuk setiap periode selama horizon perencanaan.
2.       Lotting
Lotting adalah proses penentuan besarnya kuantitas pesanan, yang dimaksudkan untuk memenuhi beberapa periode kebutuhan bersih sekaligus besarnya ukuran kuantitas pesanan tersebut dapat ditentukan berdasarkan pada jumlah pemesanan yang tetap atau keseimbangan antara ongkos pengadaan (set up cost) dengan ongkos simpan (carrying cost).
Dalam menentukan ukuran  kwantitas pemesanan pada MRP adalah proses lot sizing. Proses ini merupakan suatu dasar terpenting dalam menentukan rencana kebutuhan bahan, karena itu pemakaian dan pemilihan metoda-metoda lotting sangat tepat dan efektif.
Berikut ini adalah beberapa metoda yang terdapat dalam teknik lotting :
a.       Lot for Lot (LFL)
Teknik ini merupakan teknik lot sizing yang paling sederhana dan mudah dimengerti. Pemesanan dilakukan dengan pertimbangan minimasi ongkos simpan. Pada teknik ini, pemenuhan kebutuhan bersih (Rt) dilaksanakan di setiap periode yang membutuhkannya, sedangkan besar ukuran kuantitas pemesanannya (lot size) adalah sama dengan jumlah kebutuhan bersih yang harus dipenuhi pada periode yang bersangkutan. Teknik ini biasanya digunakan untuk item-item yang mahal atau yang tingkat kontinuitas permintaannya tinggi [4]
b.      Metode Periodic Order Quantity ( Jumlah pesanan atas dasar periode)
Menggunakan konsep jumlah pemesanan ekonomis agar dapat dipakai pada periode bersifat permintaan diskrit, teknik ini dilandasi oleh metode EOQ. Dengan mengambil dasar perhitungan pada metode pesanan ekonomis maka akan diperoleh besarnya jumlah pesanan yang harus dilakukan dan interval periode pemesanannya adalah setahun [4]
c.          Metode Wagner Within
Teknik ini menggunakan prosedur optimasi yang didasari model programma dinamis. Tujuannya adalah untuk mendapatkan strategi pemasaran yang optimal untuk seluruh jadwal kebutuhan bersih dengan jalan meminimasi total ongkos pengadaan dan ongkos simpan. Pada dasarnya teknik ini menguji semua cara pemesanan yang mungkin dalam memenuhi kebutuhan bersih setiap periode yang ada pada horison perencanaan, sehingga senantiasa memberikan jawaban optimal [4]
d.           Economic Order Quantity (EOQ)
Ukuran pemesanan dengan total biaya persediaan yang minimal dikenal dengan istilah Economic Order Quantity (EOQ). Model persediaan klasik diasumsikan pada kondisi ideal dimana Q adalah ukuran pemesanan. Dalam penerimaan pemesanan, tingkat persediaan ialah Q unit [4]
          Dengan model EOQ, Kuantitas pesanan yang optimum akan terjadi pada sebuah titik dimana biaya setup total sama dengan biaya total penyimpanan. Langkah yang dilakukan adalah : [4]
a.       Membuat persamaan untuk biaya setup atau biaya pemesanan
b.      Membuat sebuah persamaan untuk biaya penyimpanan
c.       Menentukan biaya setup yang sama dengan biaya penyimpanan
d.      Menyeleseikan persamaan untuk kuantitas pesanan yan optimum,
           Manfaat model EOQ adalah bahwa EOQ merupakan model yang tangguh. Berarti ia memberikan jawaban yang memuaskan meskipun terdapat beragam variasi dalam parameternya. Biaya total EOQ berubah sedikit secara minimal. Kurvanya sangat dangkal. Hal ini berarti bahwa variasi pada setup, biaya penyimpanan, permintaan, atau bahkan EOQ relatif sedikit dalam biaya total [4]
e.         Metode Least Unit Cost (Ongkos Unit Terkecil)
Pada teknik LUC ini ukuran kuantitas pemesanan (lot size) ditentukan dengan cara coba-coba (trial error), yaitu dengan jalan mempertanyakan apakah ukuran lot di suatu periode sebaiknya sama dengan kebutuhan bersih (Rt) atau bagaimana kalau ditambah dengan periode-periode berikutnya. Keputusan ditentukan berdasarkan ongkos per unit (ongkos pengadaan per unit + ongkos simpan per unit) terkecil dari setiap bakal ukuran lot yang akan dipilih [4]
f.          Metode Part Periode Balancing (Penyeimbangan Periode)
Teknik ini menggunakan dasar logika yang sama dengan teknik Least Total Cost. Perbedaannya terletak pada pengalokasian pemesanan yang dilakukan dengan melihat kebutuhan bersih periode yang ada di depan dan di belakang (look ahead/look back) dari periode yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyimpangan item persediaan dalam jumlah yang terlalu besar dan menghindari kuantitas pemesanan yang terlalu sedikit [4]
g.        Metode Least Total Cost (Ongkos total terkecil)
Pendekatan menggunakan konsep ongkos total akan diminimasikan apabila untuk setiap lot dalam suatu horison perencanan hampir sama besarnya. Hal ini dapat dicapai dengan memesan ukuran lot yang memiliki ongkos simpan per unit-nya hampir sama dengan ongkos pengadaannya/ unitnya [4]
h.        Metode Fixed Periode Requirement (Kebutuhan dengan periode tetap)
Teknik ini menggunakan konsep interval pemesanan yang konstan, sedangkan ukuran kwamtitas pemesanannya (lot size) boleh bervariasi. Ukuran kwantitas pemesanan tersebut merupakan penjumlahan kebutuhan bersih (Rt) dari setiap periode yang tercangkup dalam interval pemesanan yang telah ditetapkan. Penetapan interval pemesannnya dilakukan secara sembarang atau intuitif. Teknik FPR ini, jika saat pemesanan jatuh pada periode yang kebutuhan bersihnya sama dengan nol, maka pemesanan dilaksanakan pada peiode berikutnya [4]
3.       Offsetting
       Offsetting adalah suatu proses penentuan saat atau periode dilakukannya pemesanan sehingga kebutuhan bersih (Rt) dapat dipenuhi. Dengan perkataan lain Offsetting bertujuan untuk menentukan kapan kuantitas pesanan yang dihasilkan proses lotting harus dilakukan. Penentuan rencana saat kebutuhan bersih (Rt) harus tersedia dengan waktu ancang-ancangnya (Lead Time) [4]
4.       Exploding
      Langkah ini merupakan kunci keseluruhan MRP. Exploding merupakan proyeksi pesanan kebutuhan dari tingkat yang lebih tinggi dalam struktur produk berdasarkan rencana pemesanan. Prosedur ini secara berulang dilakukan dari level yang paling tinggi ke level yang paling rendah. Proses perencanaan kebutuhan selesai ketika semua daftar kebutuhan item yang sudah dipesan telah ada (purchasing) [4]




DAFTAR PUSTAKA

Baroto, Teguh. 2002,  Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Jakarta: Graha Indonesia
Gaspersz, Vincent. 2004. Production Planning and Inventory Control. Jakarta:  PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gaspersz, Vincent. 1998. Production Planning and Inventory Control. Jakarta:  PT. Gramedia Pustaka Utama.
Heizer Jay, Render Barry. 2004. Operations Management. Jakarta: Salemba 4
Ginting, Rosnani, 2007. Sistem Produksi. Jakarta : Graha Ilmu